Kecantikan Yang Tidak Tampak Oleh Cermin: Refleksi Spiritual Dari Cerita “Elok Yang (Tidak) Buruk Rupa”

Ilustrasi Gambar (sumber: http://id.pinterest.com/search/pins/?q=muslimah%20landscape&rs=ac&len=12&source_id=ac_ky5ANMTH&eq=muslimah%20lan&etslf=13908)

A. Kecantikan itu Anugrah atau Ujian?

Dalam kisah tersebut, penulis mengangkat sosok perempuan yang tidak dianggap cantik secara fisik. Sejak kecil ia kerap menjadi bahan ejekan dan tidak pernah masuk dalam kategori “favorit” dimata masyarakat. Namun, justru dari ketidakelokan itulah muncul keindahan hati, ketabahan, dan kekuatan karakter yang jarang dimiliki oleh mereka yang dibesarkan dalam pujian rupa. Narasi ini menyentil kesadaran kita, bahwa persepsi kecantikan tidak selalu sejalan dengan keindahan batin.

Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan hartamu, tetapi Dia melihat kepada hati dan amalmu.” Hadis ini menjadi fondasi utama bahwa dalam islam, tolak ukur kemuliaan seseorang bukanlah tampilan luarnya, melainkan isi hatinya dan kontribusinya dalam kehidupan.

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali mengingatkan kita bahwa kecantikan lahiriah bisa jadi tipuan jika tidak dibarengi dengan kecantikan batiniah. Beliau menyatakan bahwa kecantikan hakiki adalah hasil dari akhlak mulia dan kesucian jiwa. Oleh karena itu, seseorang yang cantik tetapi akhlaknya buruk, hakikatnya tidak memiliki kecantikan di mata Allah.

Kecantikan fisik memang bukan dosa, bahkan bisa jadi kenikmatan. Akan tetapi, ketika kenikmatan itu membuat seseorang merasa lebih unggul dari yang lain, di situlah letak bahayanya. Mereka yang merasa cantik sering kali tanpa sadar memandang rendah mereka yang tidak cantik. Bahkan dalam lingkungan sosial, sikap ini tercermin dari perlakuan yang berbeda antara “yang cantik” dan “yang biasa saja”. Fenomena ini sering kali menimbulkan luka batin bagi mereka yang terus menerus dibandingkan dan direndahkan.

B. Luka Dan Proses Penerimaan Diri

Asma Nadia dalam penuturannya tidak hanya menghadirkan sosok gadis biasa yang terluka karena penampilan fisiknya, tetapi juga menunjukkan bagaimana proses penerimaan diri dapat membangun kekuatan yang luar biasa. Sosok yang awalnya merasa rendah diri, terpuruk, bahkan hampir kehilangan arah, perlahan bangkit karena menyadari bahwa dirinya berharga bukan karena cantik atau tidak, tetapi karena siapa dirinya di mata Allah.

Realitas ini juga diperkuat dengan apa yang disampaikan Ustaz Hanan Attaki dalam berbagai ceramahnya. Ia kerap menegaskan bahwa seorang muslimah hendaknya tidak menjadikan standar duniawi sebagai ukuran harga dirinya. “Jika kita sibuk ingin menjadi versi cantik menurut manusia, kita bisa saja kehilangan versi terbaik kita menurut Allah,” begitu salah satu pernyataannya. Artinya, manusia boleh memuji atau meremehkan penampilan kita, tetapi nilai kita di mata Allah tidak pernah bergantung pada penilaian makhluk.

Dalam buku Bidadari Dunia karya Ustazah Oki Setiana Dewi disebutkan bahwa kecantikan sejati bukanlah tentang apa yang tampak oleh mata, tetapi apa yang dapat dirasakan oleh hati. Seorang wanita disebut cantik bukan karena kulitnya yang halus, tetapi karena hatinya yang lembut dan tutur katanya yang menenangkan. Ini adalah standar kecantikan yang melampaui sekadar penampilan dan menyentuh sisi spiritual.

C. Cantik Itu Tak Selalu Fisik

Kecantikan yang hakiki bersumber dari ketakwaan dan akhlak yang baik. Dalam QS. At-Tin ayat 4, Allah menegaskan: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Ayat ini menunjukkan bahwa setiap manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya menurut Sang Pencipta. Maka ketika ada manusia yang menghina ciptaan Allah, sesungguhnya mereka sedang meremehkan keputusan dan kehendak-Nya.

Kisah-kisah yang disajikan dalam buku ini juga membuka ruang dialog batin tentang bagaimana luka akibat ejekan fisik tidak seharusnya membentuk kebencian. Sebaliknya, luka-luka tersebut dapat menjadi jalan menuju kedewasaan rohani. Ketika seseorang dapat menerima dirinya sendiri, kemudian memperbaiki hatinya, menguatkan ibadahnya, dan terus menebar kebaikan, maka ia telah menjadi pribadi yang jauh lebih cantik daripada mereka yang hanya mengandalkan penampilan.

Dalam ceramahnya, Ustaz Khalid Basalamah pernah mengingatkan bahwa wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW adalah Sayyidah Khadijah, bukan hanya karena kecantikannya, tetapi karena kebaikan hatinya, keimanannya, dan pengorbanannya di jalan dakwah. Ini adalah bukti sejarah bahwa kecantikan hati lebih mulia daripada kecantikan fisik semata.

D. Elok dalam Pandangan Langit

Kecantikan yang tidak buruk rupa, sesungguhnya adalah ekspresi kecantikan menurut langit. Tidak harus lesung pipi, tidak perlu rahang yang tegas, tidak harus mata yang lentik. Kecantikan dapat hadir pada wajah yang terbebas dari rasa iri, pada senyum yang tulus, pada tatapan mata yang tenang karena keimanan. Kecantikan seperti inilah yang tidak akan luntur dimakan waktu dan usia.

Dalam buku Wanita Biasa yang Luar Biasa karya Ninih Muthmainnah (Teh Ninih) juga ditegaskan bahwa wanita yang paling cantik adalah wanita yang memiliki rasa malu, ketenangan hati, dan budi pekerti yang luhur. Sekalipun secara fisik dia tidak menonjol, namun bila dia duduk dalam majelis ilmu, menjaga pandangannya, dan memiliki akhlak yang lembut, maka dia telah mengalahkan banyak orang yang hanya mengandalkan dandanan dan penampilan.

E. Menjadi Elok yang Diterima Bumi dan Langit

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak perempuan yang terlalu sibuk mengejar pengakuan dunia. Mereka mengikuti tren perawatan kulit, mode, bahkan operasi plastik demi meraih apa yang dianggap sebagai “standar kecantikan”. Sayangnya, sebagian dari mereka lupa bahwa kecantikan sejati adalah yang membuat seseorang disukai oleh para penghuni langit, bukan sekadar disanjung oleh para pengikutnya di media sosial.

Buku Catatan Hati Sebuah Gadis seakan menjadi oase di tengah gersangnya nilai- nilai spiritual dalam menilai diri sendiri. Buku ini mengajak para pembacanya untuk memaknai ulang kecantikan dari sisi yang lebih substansial. Bahwa menjadi menarik bukan tentang bagaimana orang lain melihat kita, tetapi tentang bagaimana kita menjalani hidup dengan penuh makna dan manfaat.

Simpulan dari tema ini adalah renungan tentang bagaimana menjadi gadis yang diterima bumi dan langit. Tidak semua orang diberi rupa yang baik, tetapi semua orang diberi kesempatan untuk menjadi baik. Dan ketika kebaikan tumbuh dari hati yang ikhlas, dari ibadah yang ikhlas, dari akhlak yang menarik, maka sesungguhnya kebaikan itu telah menjadi indah, meskipun dunia tidak selalu menganggapnya indah.

Jangan habiskan waktu hanya untuk ingin tampil menarik, sementara jiwa kita tandus dari cahaya keimanan. Jangan buang-buang energi untuk membandingkan diri dengan mereka yang dikagumi karena rupa fisiknya, karena bisa jadi mereka sedang diuji dengan ujian yang lebih berat. Cukupkan diri dengan rasa syukur, kuatkan langkah dengan doa, dan perbaiki diri dengan akhlak.

Terakhir, sebagaimana disebutkan dalam buku ini, mungkin kamu tidak dianggap cantik oleh dunia, tetapi Allah melihatmu dengan cinta. Jadi teruslah melangkah. Karena cahaya tidak butuh pujian untuk bersinar. Dan sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang saleh.” (HR. Muslim). Inilah kecantikan sejati yang tak luntur oleh waktu.

Penulis: Inayah Rahmayani Mutmainnah dan Mutiara Haya Afifah

Mahasiswa STIQ Kepri Semester II PAI Reguler