Membaca Strategi dan Nasib Israel: Menelisik Cara Zionis Berkuasa dan Isyarat Kehancurannya

Ilustrasi Gambar (sumber: https://id.pinterest.com/search/pins/?q=gaza%20landscape%20animasi&rs=typed)

Latar Belakang Pentingnya Memahami Strategi Kekuasaan Zionis Yahudi dalam Konteks Geopolitik Dunia

Sejak berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948, kawasan Timur Tengah terus dilanda konflik yang tak kunjung selesai. Israel yang didukungan oleh negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya. Berbagai tindakan agresi, penjajahan, serta penindasan terhadap rakyat Palestina menjadi bukti bagaimana kekuasaan Zionis dijalankan penuh dengan kebiadaban yang di luar peri kemanusiaan dan keadilan.

Dalam konteks geopolitik dunia, strategi kekuasaan Zionis tidak hanya berdampak pada Palestina, tetapi juga mempengaruhi stabilitas kawasan Timur Tengah dan hubungan internasional. Dukungan dari negara-negara besar kepada Israel telah membuat banyak keputusan internasional tidak masuk akal dan tidak efektif dalam menghentikan kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Bahkan, Israel sendiri tidak peduli dengan kecaman atau resolusi yang dikeluarkan PBB terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Memahami strategi kekuasaan Zionis penting agar kita generasi muda dan masyarakat dunia dapat melihat secara kritis bagaimana kekuatan politik, ekonomi, dan militer digunakan untuk mempertahankan dominasi dan menekan kelompok yang dianggap ancaman. Pemahaman ini juga membantu kita memahami bagaimana narasi “terorisme” sering digunakan untuk melemahkan perjuangan rakyat Palestina dan membenarkan tindakan kekerasan terhadap mereka.

Selain itu, kesadaran akan strategi kekuasaan Zionis membantu membuka mata masyarakat global bahwa konflik di Palestina bukan hanya masalah agama atau wilayah, tetapi terkait dengan perebutan pengaruh dan kepentingan geopolitik negara-negara besar di dunia. Dengan memahami hal ini, diharapkan akan lahir kesadaran kolektif untuk mendukung kemerdekaan Palestina dan menegakkan keadilan bagi rakyat yang tertindas.

Pengantar Singkat tentang Buku Dr. Adian Husaini dan Relevansinya dalam Mengupas Isu Zionisme


Dr. Adian Husaini merupakan salah satu pemikir dan cendikiawan Muslim Indonesia yang banyak menulis tentang isu-isu peradaban, politik global, serta masalah umat Islam, termasuk dalam hal penindasan yang dialami rakyat Palestina. Dalam salah satu bukunya, yakni “Jangan Kalah Sama Monyet: 101 Gagasan Pemandu Pikiran pada Era Kebohongan”, Dr. Adian Husaini mengupas isu Zionisme dengan detail, menampilkan bagaimana Zionisme bukan sekedar persoalan konflik antara Israel dan Palestina, tetapi terkait dengan strategi kekuasaan yang sistematis untuk mendominasi wilayah dan melemahkan umat Islam secara global. Beliau juga mengaitkan isu ini dengan konteks sejarah terbentuknya Israel, dukungan negara-negara besar, serta ketidakadilan yang terjadi akibat tindakan agresi yang dilakukan oleh Israel dengan dalih keamanan.

Relevansi buku Dr. Adian Husaini dalam membahas isu Zionisme sangat penting bagi generasi muda dan masyarakat Indonesia agar memahami bahwa permasalahan Palestina bukan hanya isu kemanusiaan, tetapi juga isu politik global yang memerlukan kesadaran, kepedulian, dan pemahaman kritis. Melalui kajian yang disajikan dalam bukunya, kita dapat memahami strategi kekuasaan Zionis, pengaruhnya dalam politik internasional, serta urgensi untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina dalam memperoleh kemerdekaan dan keadilan.

Dalam buku karya Dr. Adian Husaini, kita dapat melihat persoalan Zionisme secara lebih luas dan objektif, serta memahami dampak geopolitiknya terhadap kondisi umat Islam dalam perdamaian dunia. Buku ini menjadi pengingat bahwa perjuangan Palestina adalah bagian dari perjuangan menegakkan nilai kemanusiaan dan melawan ketidakadilan yang masih terus berlangsung hingga saat ini.

Zionisme: Ideologi yang Menjadi Mesin Kekuasaan

Zionisme, yang lahir pada akhir abad ke-19, adalah gerakan nasionalisme Yahudi yang bertujuan mendirikan negara bangsa Yahudi di Palestina. Sejak awal, Zionisme telah memiliki agenda kolonial yang menyasar wilayah yang saat itu diduduki mayoritas penduduk Arab Palestina. Dengan menggunakan klaim sejarah dan agama, gerakan ini berhasil menarik dukungan dari kekuatan global, terutama Inggris melalui Deklarasi Balfour tahun 1917.

Namun, setelah berdirinya negara Israel pada tahun 1948, ideologi Zionisme berkembang dari sekadar nasionalisme menjadi bentuk rasisme struktural. PBB melalui Resolusi 3379 pada tahun 1975 bahkan menyatakan Zionisme sebagai bentuk rasisme dan diskriminasi. Hal ini bukan tanpa alasan: kebijakan Israel terhadap penduduk non-Yahudi di wilayah yang

mereka kuasai secara terang-terangan memperlihatkan diskriminasi sistematis, segregasi, dan pengusiran paksa.

Indonesia, melalui Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, menjadi pelopor dalam menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme modern, termasuk Zionisme. Tokoh-tokoh seperti Roeslan Abdulgani menyebut Zionisme sebagai bentuk kolonialisme paling jahat yang tersisa di era pasca-perang dunia.

Strategi Kekuasaan Zionis: Militerisasi, Intelijen, dan Media

Keberhasilan Israel dalam mempertahankan hegemoninya di Timur Tengah tidak lepas dari strategi militer yang canggih, sistem intelijen yang kuat, dan penggunaan media internasional. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) adalah salah satu militer paling modern di dunia, dengan dukungan teknologi tinggi dari Amerika Serikat dan negara Barat lainnya.

Serangan terhadap Gaza tahun 2008-2009, yang dikenal sebagai Operation Cast Lead, menunjukkan bagaimana kekuatan militer digunakan secara brutal atas nama “keamanan nasional.” Operasi ini melibatkan pemboman udara intensif, penggunaan fosfor putih, serta serangan darat yang menargetkan daerah padat penduduk. Dalam operasi tersebut, lebih dari

1.400 warga Palestina tewas, dan sebagian besar adalah warga sipil.

Israel juga dikenal karena kemampuan intelijennya melalui Mossad, yang terlibat dalam operasi pembunuhan tokoh-tokoh perlawanan Palestina di luar negeri. Tokoh seperti Syekh Ahmad Yassin dan Abdul Aziz Rantisi dibunuh secara sistematis meski keduanya dalam kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan.

Dalam buku *Jangan Kalah Sama Monyet*, Dr. Adian Husaini menulis bahwa kekuatan Zionisme tidak hanya terletak pada militer dan ekonomi, tetapi pada keberhasilan mereka membentuk opini dunia melalui media. “Ketika umat Islam sibuk bertengkar satu sama lain, kekuatan Zionisme memperkuat cengkeramannya melalui jaringan informasi global,” tulisnya.

Justifikasi Kekerasan dan Agenda Global Pasca-Perang Dingin

Setelah runtuhnya Uni Soviet, orientasi geopolitik dunia berubah. Musuh ideologis utama Barat bergeser dari komunisme ke apa yang disebut sebagai “Islam radikal.” Dalam kerangka ini, gerakan seperti Hamas diposisikan sebagai ancaman global, dan Israel mengambil peran sebagai garis depan perlawanan terhadap “ekstremisme Islam.”

Justifikasi kekerasan terhadap Gaza dan wilayah Palestina lainnya dibungkus dalam wacana perang melawan terorisme. Hamas, yang terpilih secara demokratis dalam pemilu Palestina

tahun 2006, dicap sebagai organisasi teroris oleh AS dan Uni Eropa, sehingga segala tindakan militer terhadap wilayah yang mereka kuasai dianggap sah.

Namun, kenyataannya menunjukkan bahwa korban utama dari agresi militer Israel bukan hanya pejuang bersenjata, tetapi justru warga sipil tak berdosa. Wanita, anak-anak, dan lansia menjadi korban paling banyak dalam setiap serangan. Rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah tidak luput dari serangan.

Dukungan Amerika Serikat: Pilar Kekuasaan Zionis

Israel tidak akan mampu menjalankan seluruh agenda militernya tanpa dukungan mutlak dari Amerika Serikat. Sejak berdirinya negara Israel, AS telah menjadi sekutu terdekat dan penyokong utama secara ekonomi, militer, dan diplomatik. Bantuan militer tahunan mencapai miliaran dolar AS, dan teknologi pertahanan seperti sistem Iron Dome sepenuhnya didanai oleh AS.

Di Dewan Keamanan PBB, AS secara konsisten menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi yang mengkritik Israel atau yang berpotensi mengarah pada sanksi. Bahkan ketika terjadi pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional, AS cenderung membela Israel dengan alasan “hak membela diri.”

PBB dan Dunia Islam: Kritik Tanpa Tindakan

Walaupun berbagai organisasi internasional mengecam tindakan Israel, hingga saat ini belum ada langkah konkret yang benar-benar menghentikan kekejaman tersebut. PBB telah mengeluarkan puluhan resolusi yang menuntut Israel menghentikan pendudukan dan kekerasan, namun sebagian besar tidak dilaksanakan.

Negara-negara Arab dan Islam pun tampak tidak solid dalam menghadapi isu Palestina. Perpecahan internal, kepentingan nasional yang berbeda, dan ketergantungan ekonomi pada negara Barat membuat suara dunia Islam terdengar lemah. Pertemuan-pertemuan darurat yang diselenggarakan oleh Liga Arab atau OKI sering kali berakhir hanya dengan pernyataan politik tanpa tindak lanjut nyata.

Kekejaman yang Berulang: Sebuah Tantangan Kemanusiaan

Peristiwa pembantaian di Gaza bukanlah satu-satunya kekejaman yang dilakukan oleh rezim Zionis. Sejak pendiriannya, Israel terlibat dalam berbagai aksi militer brutal seperti pembantaian di Deir Yassin, Sabra dan Shatila, hingga serangan bertubi-tubi ke Gaza dalam berbagai operasi militer.

Tindakan-tindakan ini memperlihatkan pola kekerasan yang berulang. Setiap kali ada perlawanan dari rakyat Palestina, respons Israel adalah penghancuran total. Akibatnya, krisis kemanusiaan terus berlangsung. Jutaan rakyat Palestina hidup dalam kondisi blokade, kekurangan makanan, air bersih, dan fasilitas kesehatan yang memadai.

Tanda-tanda Kehancuran Israel: Ilusi Kekuatan?

Israel dan para pemimpin Zionis selama ini percaya bahwa hanya kekuatan senjata yang dapat menjaga keberadaan mereka. Sejak lama, mereka lebih mengutamakan cara-cara kekerasan, penjajahan, dan penindasan untuk mempertahankan wilayah yang mereka duduki. Hal ini ditegaskan Ariel Sharon saat peringatan Holocaust, bahwa bangsa Yahudi hanya bisa selamat dengan kekuatan. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran para tokoh Zionis seperti Vladimir Jabotinsky yang menghalalkan segala cara demi impian Zionisme.

Namun, meskipun Israel menunjukkan diri sebagai negara kuat dengan dukungan negara- negara besar seperti Amerika Serikat, kekuatan ini sebenarnya hanyalah ilusi jika dilihat dari dampaknya pada citra Israel di mata dunia. Serangan brutal mereka ke Gaza, yang menewaskan ribuan warga sipil termasuk wanita dan anak-anak, telah membuka mata banyak orang tentang kekejaman sebenarnya dari Zionisme Israel.

Dulu, Zionis berhasil membentuk citra diri sebagai bangsa lemah yang dianiaya dan berhak memiliki negara sendiri. Mereka digambarkan sebagai “David” kecil yang dikeroyok “Goliath” raksasa. Namun, setelah pembantaian Gaza, dunia melihat wajah asli Israel. Tidak ada lagi simpati luas kepada mereka. Justru semakin banyak negara dan masyarakat dunia yang menyadari bahwa Israel telah menjadi bangsa penindas yang bertindak semena-mena terhadap rakyat Palestina.

Opini publik adalah kekuatan yang jauh lebih tinggi daripada senjata. Israel mungkin memiliki tank dan rudal, tetapi mereka kehilangan kepercayaan masyarakat internasional. Penolakan global atas tindakan Israel menjadi tanda bahwa kekuatan sejati tidak hanya diukur dari senjata, tetapi juga dari bagaimana sebuah bangsa menjaga keadilan dan martabat kemanusiaan.

Bahkan, cendekiawan Yahudi seperti Dr. Israel Shahak dan tokoh seperti Albert Einstein sudah lama mengkhawatirkan bahwa nasionalisme sempit dan tindakan kekerasan Israel akan menghancurkan mereka dari dalam. Dunia kini semakin melihat bahwa kekuatan Israel hanyalah ilusi yang menutupi ketakutan mereka akan keadilan yang akan datang untuk rakyat Palestina.

Maka, tindakan brutal Israel yang mereka anggap sebagai bentuk kekuatan, justru menjadi tanda-tanda kehancuran mereka sendiri. Karena pada akhirnya, sebuah negara yang dibangun dengan kekerasan dan penindasan tidak akan bisa bertahan lama ketika dunia tidak lagi mempercayai narasi yang mereka bangun. Kekuatan mereka akan runtuh, bukan karena lemahnya persenjataan, tetapi karena hilangnya dukungan moral dari masyarakat internasional.

Kerapuhan Internal: Moral, Sosial, dan Ideologis

Israel memang tampak kuat dengan senjata dan dukungan negara besar seperti Amerika Serikat. Namun, di balik semua itu, Israel sedang menghadapi kerapuhan dari dalam, baik secara moral, sosial, maupun ideologis.

Dari sisi moral, tindakan kekerasan yang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina, termasuk wanita dan anak-anak, telah meruntuhkan citra mereka di mata dunia. Dulu, Israel berhasil membangun citra sebagai bangsa kecil yang tertindas, tetapi sekarang dunia melihat mereka sebagai bangsa penindas. Tindakan mereka yang kejam telah membuat banyak negara dan masyarakat dunia kehilangan simpati kepada mereka.

Secara sosial, kekerasan yang terus dilakukan hanya akan memupuk kebencian dan perlawanan, baik dari rakyat Palestina maupun dari generasi baru yang menyaksikan ketidakadilan ini setiap hari. Rasa takut yang muncul akibat ancaman serangan balasan akan membuat masyarakat mereka hidup dalam ketegangan, sehingga tidak dapat merasakan keamanan meskipun dikelilingi kekuatan militer.

Dari sisi ideologis, para pemimpin Zionis menganggap bahwa kekuatan senjata adalah satu- satunya cara untuk bertahan hidup, seperti yang diyakini Ariel Sharon dan tokoh Zionis lainnya. Namun, ideologi ini pada akhirnya akan merusak mereka dari dalam. Sebab, ideologi yang hanya mengandalkan kekerasan akan kehilangan nilai kemanusiaan, dan bangsa yang kehilangan nilai kemanusiaan akan sulit mempertahankan keutuhan dan kepercayaan dari generasinya sendiri.

Bahkan, tokoh Yahudi seperti Albert Einstein dan Dr. Israel Shahak telah mengingatkan bahwa nasionalisme sempit dan penggunaan kekuatan secara berlebihan akan menghancurkan Israel dari dalam. Jika hanya bergantung pada kekuatan senjata, tanpa memperhatikan keadilan dan hak asasi manusia, maka akan muncul perpecahan di dalam masyarakat mereka sendiri. Masyarakat dunia pun akan semakin menjauh dan menentang tindakan mereka.

Kerapuhan internal ini menjadi tanda bahwa kekuatan Israel hanyalah ilusi. Sebab, kekuatan sejati tidak hanya diukur dari jumlah senjata, tetapi dari kemampuan sebuah bangsa menjaga nilai kemanusiaan, keadilan, dan hidup berdampingan secara damai. Israel mungkin tampak kuat dari luar, tetapi jika terus mempertahankan ideologi kekerasan, mereka akan mengalami kehancuran dari dalam yang tidak dapat mereka hindari.

Membangun Kesadaran Global dan Tindakan Kolektif

Konflik Palestina-Israel bukan hanya soal politik atau agama, tetapi juga merupakan ujian bagi nurani kemanusiaan global. Ketika anak-anak dibunuh tanpa alasan, ketika rumah ibadah dihancurkan, dan ketika rakyat diblokade tanpa akses terhadap hak-hak dasar, maka dunia sedang menghadapi tragedi kemanusiaan yang besar.

Untuk melawan dominasi Zionisme dan kekejaman yang terus berulang, dibutuhkan kesadaran kolektif dari masyarakat dunia. Boikot produk-produk yang mendukung pendudukan, tekanan diplomatik terhadap negara-negara yang mendukung Israel, dan penguatan solidaritas internasional terhadap Palestina harus menjadi agenda utama.

Sebab selama dunia diam, kekejaman akan terus berlanjut, dan Palestina akan tetap menjadi luka terbuka yang belum sembuh.

Penulis: Hesti Rahmawati dan Shinta Adha Selina

Mahasiswa STIQ Kepri Semester II PAI Reguler