Konsep Dasar Pendidikan Dalam Islam

sumber; Pinterest

Pendahuluan

Pendidikan adalah salah satu pilar utama dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Dalam perspektif Islam, pendidikan menempati posisi yang sangat penting karena tidak hanya berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual, tetapi juga pada pembentukan kepribadian yang dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan. Pendidikan Islam merupakan sistem yang dirancang untuk melahirkan manusia beriman, berakhlak luhur, cerdas dalam menghadapi kehidupan dunia, serta mampu meraih kebahagiaan di akhirat. Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai suatu sistem pendidikan yang membekali individu dengan kemampuan untuk menjalani dan memimpin kehidupannya berdasarkan cita-cita serta nilai-nilai Islam yang tertanam dan membentuk karakter pribadinya. Dengan kata lain, pendidikan Islam merupakan sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, sebagaimana Islam berfungsi sebagai pedoman yang mengarahkan seluruh dimensi kehidupan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.

Oleh sebab itu, sangat penting untuk menelaah dan mendalami konsep pendidikan Islam secara komprehensif, mencakup aspek filosofis, tujuan, kurikulum, metode, hingga penerapannya dalam kehidupan modern. Namun, pada bagian ini akan disajikan terlebih dahulu landasan konseptual sebagai pengenalan awal mengenai Pendidikan dalam Islam. Adapun konsep dasar pendidikan islam mencakup pengertian istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.

Tarbiyah

Istilah tarbiyah berasal dari bahasa Arab, dari bentuk fi‘il tsulāthī mujarrad raba (رَبَا) yang berarti zāda (زَادَ) bertambah atau berkembang, nasha’a (نَشَأَ) tumbuh atau meningkat, dan ‘alā (عَلَا) naik atau meninggi. Tarbiyah juga berasal dari akar kata rabba – yurabbī – tarbiyatan (رَبَّى – يُرَبِّي – تَرْبِيَةً) yang bermakna al-malik (الْمَلِك) penguasa atau raja, as-sayyid (السَّيِّد) tuan atau pemimpin, al-mudabbir (الْمُدَبِّر) pengatur urusan, al-qayyim (الْقَيِّم) penanggung jawab, dan al-mun‘im (الْمُنْعِم) pemberi nikmat. Secara gramatikal, tarbiyah merupakan bentuk maṣdar dari kata kerja rabba (رَبَّى) yang memiliki makna serupa dengan kata rabb (رَبّ) yang merupakan salah satu nama Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, istilah tarbiyah memang tidak disebutkan secara langsung, namun terdapat beberapa istilah yang memiliki makna serupa, seperti ar-Rabb (الرَّبّ), rabbayānī (رَبَّيَانِي), murabbī (مُرَبِّي), rabbiyyūn (رَبِّيُّون), dan rabbānī (رَبَّانِيّ) semuanya menggambarkan makna pendidikan, pengasuhan, serta bimbingan yang bersumber dari sifat ketuhanan Allah sebagai Rabb al-‘ālamīn.

Abdurrahman An-Nahlawi menjelaskan bahwa dalam kamus bahasa arab, istilah tarbiyah memiliki tiga akar kata. Pertama, raba–yarbu yang bermakna bertambah dan berkembang, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 39. Kedua, rabiya–yarba yang berarti menjadi besar. Ketiga, rabba–yarubbu yang mengandung arti memperbaiki, mengatur urusan, membimbing, menjaga, serta memelihara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tarbiyah lebih berfokus kepada pengarahan yang bersifat menjaga saja, sama seperti seorang guru menjaga muridnya ketika berada disekolah atau dalam pendidikan rumah tangga sepasang suami-istri hanya menjaga anaknya dari kecil sampai besar, tidak memfokuskan kearah pendidikan secara spesifik.

Ta’lim

Kata ta‘lim (التَّعْلِيم) merupakan bentuk maṣdar atau kata benda turunan dari akar kata ‘allama–yu‘allimu (عَلَّمَ – يُعَلِّمُ) yang berarti mengajar, memberi tahu, menyampaikan pengetahuan, atau mendidik. Dengan demikian, ta‘lim memiliki makna sebagai proses pengajaran yang bersifat edukasi (educational teaching) atau menanam ilmu pengetahuan atau transfer ilmu pengetahuan.

Ahmad Tafsir mengutip pandangan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mengenai makna ta’lim, yang diartikan sebagai proses penyampaian berbagai ilmu pengetahuan kepada jiwa seseorang tanpa dibatasi oleh ketentuan tertentu. Sementara itu, Dr. Abdul Fattah Jalal mendefinisikan ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, serta penanaman amanah, sehingga manusia dapat mencapai penyucian diri dan berada dalam keadaan yang memungkinkan untuk menerima hikmah serta mempelajari hal-hal yang bermanfaat baginya dan sebelumnya belum ia ketahui. Berdasarkan pengertian tersebut, ta’lim dapat dipahami sebagai upaya berkelanjutan manusia sejak lahir hingga akhir hayat untuk bergerak dari kondisi “tidak tahu” menuju kondisi “tahu”.

Dalam pandangan Muhammad Athiyah al-Abrasy berpendapat bahwa ta’lim adalah upaya untuk mempersiapkan individu dengan merujuk pada aspek-aspek tertentu, sementara tarbiyah mencakup semua aspek pendidikan. Oleh karena itu, ta’lim lebih spesifik daripada tarbiyah. Sedangkan dalam pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, terdapat perbedaan makna yang khas antara istilah at-tarbiyah dan at-ta’lim. Ia menjelaskan bahwa at-ta’lim memiliki cakupan yang lebih luas dan bersifat universal dibandingkan at-tarbiyah, karena at-tarbiyah tidak sepenuhnya mencakup aspek pengetahuan, melainkan lebih berfokus pada dimensi eksistensial. Selain itu, makna at-tarbiyah bersifat lebih khusus, sebab berkaitan dengan objek-objek kepemilikan dalam relasi tertentu, dengan kesadaran bahwa kepemilikan yang hakiki hanyalah milik Allah SWT. Oleh karena itu, sasaran at-tarbiyah tidak terbatas pada manusia saja, tetapi juga mencakup makhluk hidup lainnya.

Ta’dib

Kata ta’dīb berasal dari akar kata addaba (أدّب) yang bermakna perilaku dan sikap yang sopan. Dalam Kamus al-Ma‘ānī, istilah ta’dīb diturunkan dari kata addaba–yu’addibu (أدّب – يؤدّب) yang berarti mendidik, memperbaiki akhlak, menghukum, serta mendisiplinkan. Kata ini juga dapat dimaknai sebagai bentuk doa, karena melalui doa manusia diarahkan menuju sifat-sifat terpuji dan dijauhkan dari sifat-sifat tercela. Selain itu, ta’dīb merupakan bentuk maṣdar dari kata addaba, yang berarti mendidik atau menanamkan adab. Sebagian ulama memahami makna kata ini sebagai proses atau cara Allah SWT dalam mendidik para nabi-Nya.

Istilah ta’dīb umumnya dipahami dalam konteks pendidikan yang berkaitan dengan kesopanan, tata krama, moralitas, dan etika. Berasal dari akar kata yang sama dengan adab, ta’dīb juga bermakna pendidikan yang menumbuhkan nilai-nilai peradaban dan kebudayaan. Dengan demikian, seseorang yang terdidik adalah seseorang yang beradab, dan sebaliknya, peradaban yang unggul hanya dapat terwujud melalui proses pendidikan yang baik. Dalam bahasa Inggris, ta’dīb diartikan sebagai “the process of learning for social behavior” atau proses pendidikan yang membentuk perilaku sosial.

Syed Muhammad Naquib al-Attas menafsirkan istilah ta’dīb sebagai proses pengenalan, bimbingan, dan penanaman pengakuan secara bertahap kepada manusia tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tatanan ciptaan. Proses ini mengantarkan manusia pada kesopanan, kelembutan sikap, kehalusan budi pekerti, serta ketaatan terhadap kekuasaan dan keagungan Allah SWT. Pemahaman ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW berikut:

أَدَّبَنِي رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأْدِيبِي

“Tuhanku telah mendidikku, maka Dia menyempurnakan pendidikanku.” (HR. Ibn Ḥibbān)

Al-Attas bisa dikatakan cendikiwan muslim yang paling menonjolkan konsep ini ketimbang beberapa cendekiawan lainnya yang memilih ta’lim dan tarbiyah. Saya juga lebih tertarik menggunakan konsep ta’dib ketimbang ta’lim dan tarbiyah. Karena dalam cermatnya Al-Attas, beliau menerjemahkan kata kerja addabanī dalam hadis tersebut sebagai “telah mendidikku,” dan menyamakan maknanya dengan konsep ta’dīb sebagai pendidikan. Hadis ini memberikan pemahaman bahwa kepribadian Nabi yang agung merupakan hasil dari proses pendidikan langsung oleh Allah melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau.

Hal ini diperkuat oleh hadis Nabi lainnya yang menyatakan bahwa misi kerasulannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (innamā bu‘itstu li-utammima makārim al-akhlāq). Dalam pandangan Rasulullah, orang yang paling sempurna imannya (akmalu al-mu’minīna īmānan) adalah mereka yang paling baik akhlaknya (aḥsanuhum khuluqan). Dengan demikian, aktivitas Rasulullah SAW dalam mengajarkan Al-Qur’an (yu‘allimu al-kitāb), hikmah, serta menyucikan umatnya merupakan manifestasi nyata dari peran ta’dīb sebagai inti dari pendidikan Islam.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa istilah tarbiyah, ta‘lim, dan ta’dīb memiliki perbedaan makna jika ditinjau dari sisi penekanan konsepnya, namun secara substansial ketiganya saling berkaitan dalam satu kesatuan proses pendidikan yang utuh.

Sementara itu, tarbiyah menitikberatkan pada proses pembimbingan dan pengembangan potensi dasar manusia agar dapat tumbuh secara sempurna. Tarbiyah mencakup pengembangan ilmu pengetahuan, pembentukan moralitas, dan pengalaman ilmiah yang mendukung terbentuknya kepribadian utuh. Sedangkan ta‘lim, titik tekan utamanya adalah pada proses penyampaian dan penguasaan pengetahuan yang benar, penanaman pemahaman, tanggung jawab, serta keimanan. Oleh karena itu, ta‘lim berorientasi pada aspek kognitif dan keterampilan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, sekaligus sebagai pedoman dalam membentuk perilaku yang baik. Adapun ta’dīb berfokus pada internalisasi dan penguasaan pengetahuan yang benar, yang kemudian melahirkan stabilitas tindakan serta perilaku yang berakhlak mulia. Ta’dīb menempatkan aspek adab dan moralitas sebagai puncak dari proses pendidikan yang menyeluruh.

Dengan demikian, ketiga konsep tersebut merupakan elemen integral yang membentuk sistem pendidikan Islam secara komprehensif. Dalam konteks keilmuan, keterpaduan ketiganya menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada transfer ilmu (transfer of knowledge), tetapi juga pada pembentukan karakter dan kesadaran spiritual (formation of character and spiritual consciousness). Oleh karena itu, tujuan akhir pendidikan Islam adalah melahirkan insan kāmil yang mampu memancarkan nilai-nilai keilmuan, moralitas, dan ketauhidan dalam kehidupan pribadi maupun sosial, di masa kini maupun masa yang akan datang.

Oleh : Said Abdul Kadir S.Ag,. M.Pd

Alumni STIQ KEPRI Angkatan VII / Peneliti Akademik