‘Merasa Pintar Bodoh saja tak punya’

sumber: https://id.pinterest.com/pin/357965870403210864/

Benarkah Kamu Merindukan Ramadhan?

Sehari menjelang puasa, Mat Piti dan beberapa orang dikampungnya terlihat sibuk bersih-bersih dimasjid. Karpet-karpet dijemur,lampu-lampu diganti baru,halam disapu,pagar tembok dilabur, dan sebgainya. Itu kebiasaan baik yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun dikampungnya. Kaum ibu juga bergotong-royong, menyediakan pisang dan tape goreng lengkap dengan kopi dan teh manis hangat. Anak-anak membantu membersihkan mushaf-mushaf Al-Quran yang berdebu lalu menyusunnya kembali di rak-rak.

Mereka menyambut Ramadhan penuh sukacita, tapi Cak Dlahom yang dianggap kurang waras oleh orang-orang dikampungnya hanya berdiri di depan pagar tembok masjid. Dia memperhatikan spanduk yang dibentangkan di pagar masjid. Tulisan

“Selamat datang ya Ramadan. Kami rindu, padamu” yang ada di spanduk dibacanya berulang-ulang dengan suara agak kencang. Orang-orang maklum. Anak-anak tertawa. Mereka semua menganggap Cak Dluhom sedang kumat dan tak memedulikannya, kecuali Mat Piti. Hanya dia yang sejauh ini menganggap Cak Dluhom sebagai orang istimewa. Dia kerap ia tendangi Cak Dluhom sebab menduga dengan kelakuan Cak Dluhom itu, pasti ada sesuatu yang telah menyesatkannya, dan Mat Piti ingin tahu.

“Belajar membaca, Cak?”

“Memangnya saya pandir itu, Mat?”

“Anak-anak masjid, Cak. Idenya dari saya.”

“Nanti menjelang Lebaran, tulisan spanduknya ganti lagi?” “Ya diganti, Cak. Diganti: *Ramadan kami masih merindukanmu tapi kau cepat berlalu!*”

“Apa benar kamu merindukan Ramadan, Mat?” “Ya benar, Cak.”

“Kamu senang berpuasa?” “Senang, Cak.”

“Benar kamu senang puasa?” “Maksudnya, Cak?”

“Menurutmu, kenapa orang Islam diwajibkan berpuasa?” “Supaya bertakwa, Cak.”

“Itu tujuannya, Mat.”

“Jadi kenapa ada kewajiban, Cak?”

“Menurutmu kenapa ada hukum puasa? Kenapa kewa- jiban puasa diturunkan oleh Allah?”

“Lah, saya kan yang bertanya, Cak.”

“Mat, sesuatu yang diwajibkan adalah sesuatu yang manusia tidak suka mengerjakannya. Kalau manusia suka melakukannya, untuk apa diwajibkan, Mat?”

“Ya… tapi kan tetap wajib berpuasa, Cak?”

“Tentu saja, Mat. Masalahnya: benar kamu suka puasa?” “Insya Allah benar, Cak.”

“Kalau begitu, ayo kita usulkan pada Allah agar puasa Ramadan tidak diwajibkan, apalagi hanya sebuah selera.” “Kalau gitu, semua orang bisa kompak mendadak saleh!” “Nda yakin juga kali, Cak.”

“Lain cerita gimana: kamu suka atau nda suka puasa? Aslinya loh ya, Mat?”

“Sebetulnya sih agak tidak suka, Cak…”

“Terus salat, apa kamu juga suka salat? Lima kali

sehari sukar? Nanti malam ada Tarawih, benar kamu suka mengerjakannya?”

“Ya sih, agak tidak suka juga…”

“Agak tidak suka atau tidak suka, Mat?” “Agak… agak tidak… tidak suka, Cak.”

“Lalu kenapa kamu berpura-pura merindukan Rama- dan?”

“Ya gimana lagi, Cak, setiap tahunnya memang begitu.” “Dan kamu ikut-ikutan, padahal kamu tidak suka puasa, tidak suka salat?”

“Mat, sesuatu yang diwajibkan adalah sesuatu yang manusia tidak suka mengerjakannya. Kalau manusia suka melakukannya,

untuk apa diwajibkan, Mat?

“Siapa juga yang berani, Cak…”

“Itulah masalahmu. Mestinya kamu berterus terang pada Allah bahwa kamu tidak suka salat dan tidak suka puasa, tapi kamu siap dan ikhlas melakukan sesuatu yang kamu tidak suka itu sehingga derajatmu tinggi di hadapan Allah. Kalau kamu suka, ya

tidak tinggi derajatmu, Mat.” “Waduh, Cak.  ”

“Waduh kenapa? Aku tanya ke kamu: orang suka, orang senang, terus melakukan atau menjalani yang disenangi atau disukai, apa hebatnya?”

“Ya ndak ada, Cak. Biasa saja.” “Jadi, benar kamu suka puasa?”

“Ya sudah, saya akan berterus terang pada Allah bahwa saya tidak suka, tapi saya akan melatih pernikahnya dan akan melakukannya dengan ikhlas.”

“Begitu dong. Jangan pura-pura terus.” “Sampean besok puasa kan, Cak?”

“Apa aku harus bilang dan pamer padamu kalau aku akan berpuasa?” “Ya… salah lagi…. Saya mau melanjutkan menyapu dulu ya, Cak……………………………. ”

Mat Piti meninggalkan Cak Dlahom yang tetap berdiri di depan pagar masjid.

Lalu, sambil bersedekap, Cak Dlahom kembali membaca tulisan di spanduk yang dipasang di pagar masjid. Suaranya lebih kencang. Persis seperti anak-anak yang gembira karena baru bisa membaca dan membaca tulisan apa saja yang ditemuinya dengan keras-keras. Selamat datang ya Ramdhan. Kami rindu padamu………………..

selamat datang ya Ramdhan. Kami rindu padamu……….. “ Orang-orang dan anak-anak

yang sibuk membersihkan masjid terus menertawkan Cak Dlahom.

“Masuk Islam Dulu, Baru Puasa Ramadhan”

Di kampungnya, Mat Piti sebetulnya orang yang biasa-biasa saja. Tidak melarat dan tidak kaya, tapi orang-orang mengenalnya sebagai dermawan. Suka menyantuni anak yatim, membantu orang yang kesusahan, membayari utang orang-orang yang terjerat utang, mendatangi tetangga yang sakit dan mendoakan, dan sebagainya.

Di bulan Ramadan, setiap hari dia mengirim takjil ke masjid. Di rumahnya yang juga biasa-biasa saja, siapa saja boleh datang untuk menikmati buka puasa bersama-sama, kecuali pada hari pertama puasa. Di hari pertama itu dia khusus mengundang Cak Dlahom. Tak ada yang lain dan itu bukan tanpa alasan.

Cak Dlahom sudah tua. Hidup sendirian. Istri tak punya, anak entah di mana. Pekerjaannya hanya luntang-lantung ke sana kemari.

Kadang dia dijumpai di pinggir kali, meracau berbicara pada air. Kadang dia memanjat pohon dan mengaji keras-keras. Kadang dia tidur di kandang kambing milik Pak Etem, dikeloni kambing-kambing lalu menangis. Kadang dia

mendatangi masjid dan hanya berdiri memperhatikan orang-orang yang salat dengan tatapan mata yang bisa menujukkan cekat di dinding.

Orang-orang kampung karena itu menyisihkan Cak Dlahom. Dianggap kurang waras. Anak-anak sering mengganggu dan menertawakan kelakuan Cak Dlahom. “Dlahom gila… Dlahom gila…”

Orang-orang semacam Cak Dlahom itulah yang diprioritaskan oleh Mat Piti di bulan Ramadan. Dia menganggap Cak Dlahom tidak saja miskin, tapi juga fakir. Orang yang serbaberkekurangan, dipinggirkan, dilupakan, dan karena itu patut mendapat perhatian dan kasih sayang. Lebih dari itu, Mat Piti suka mendengarkan Cak Dlahom berbicara. Dia merasa sering ada pesan tertentu di balik ocehan Cak Dlahom yang belum tentu dipahami semua orang di kampungnya.

Maka, seperti bulan-bulan puasa yang sudah lewat, di hari pertama puasa Ramadan tahun itu Mat Piti mengundang Cak Dlahom berbuka di rumahnya.

Disediakan dan disuguhi aneka jamuan. Ote-ote udang, klepon, serabi, setup pisang, es campur, rawon, kerupuk udang, telur asin, dan sebagainya. Disiapkan pula sebungkus sarung dan kemeja baru untuk Cak Dlahom, selain amplop berisi beberapa lembar uang kertas sepuluh ribuan.

Cak Dlahom jadi tamu istimewa. Mat Piti dan anaknya Romlah menyambut dengan riang gembira. Mereka berbuka bersama. Dan usai salat Magrib, Mat Piti menemani Cak Dlahom yang duduk di teras, bersantai menikmati klepon, serabi, dan minum kopi. Mulutnya terus klebat-klebat merokok kretek.

“Alhamdulillah ya, Cak, kita sudah melewati puasa hari pertama.” “Puasa Ramadan itu hanya untuk orang Islam loh, Mat…”

“Kamu Islam, Mat?”

“Insya Allah saya Islam! Sampean gimana sih, Cak?” “Lah aku kan cuma tanya, Mat.”

“Ya, tapi pertanyaannya aneh. Sudah jelas saya Islam, malah ditanya apa benar saya Islam.”

“Jadi benar kamu Islam?”

“Benarlah, Cak. Saya Islam. Di KTP tertulis agama Islam. Saya juga sunat. Menikah baca syahadat. Saya salat, puasa, zakat, pernah naik haji.”

“Ya, tapi kapan kamu masuk Islam?” “Ya sejak dari kecil. Sejak lahir……………………… ”

“Syarat masuk Islam itu apa, Mat?”

“Cak, kalau mau ngetes orang, jangan kelewatan. Syarat masuk Islam ya baca syahadat. Itu ada di Rukun Islam. Rukun yang pertama.”

“Orang yang masuk islam, pertama, harus baca syahadat.

Dan disaksikan banyak orang” “Lalu kapan kamu baca syahadat masuk Islam?” “Setiap salat saya kan baca syahadat, Cak.”

“Pas salat itu, baca syahadatmu apa diniatkan untuk masuk Islam?” “Apa memang harus diniatkan, Cak?”

“Aku tanya, kamu malah balik tanya… ”

“Tapi, kan sudah saya jawab: sejak kecil dan di saat salat.”

“Syahadat itu hal paling dasar dalam Islam, Mat. Fondasi. Itu sebab, orang yang masuk Islam, pertama, harus baca syahadat. Disaksikan banyak orang.”

“Jadi maksud sampean, saya belum Islam? Lalu tak usah puasa karena belum baca syahadat masuk Islam?”

“Ya terserah kamu. Aku cuma bilang: puasa Ramadan hanya diwajibkan untuk orang Islam. Kamu mau masuk Islam atau ndak, itu urusanmu. Tak ada

paksaan dalam beragama.”

“Sampean sendiri Islam, Cak?” “Aku kan tidak puasa, Mat……………………….. ”

Crot… Satu klepon pecah di mulut Mat Piti. Muncratan gula merahnya

mengenai kaus putihnya. Cak Dlahom cekikikan. Dia segera meninggalkan Mat Piti yang kebingungan dan sibuk membersihkan lelehan gula klepon di bajunya. Cak Dlahom sudah minggat. Cekikikannya terdengar bersamaan dengan azan Isya.

‘Membaca Syahadat Menyaksikan Romlah’

Selepas salat Asar di masjid, Mat Piti memutuskan membaca syahadat.

Dia terpengaruh oleh ocehan Cak Dlahom. Dia mau masuk Islam. Maka, disaksikan jemaah masjid yang kebingungan, dia bersalaman dengan imam masjid, yang menurut gosip orang-orang di kampung, dulu adalah teman seperguruan Cak Dlahom di pesantren. Nasib membedakan keduanya. Cak Dlahom luntang-lantung dan dianggap kurang waras, temannya jadi imam masjid dan dihormati orang-orang kampung.

Tangan mereka bersalaman erat. Lalu dengan dibimbing imam masjid itu, Mat Piti membaca syahadat:

“Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadur Rasulullah.”

Jemaah menyambutnya dengan mengucapkan “Subhanallah,

walhamdulillah, wa laa ilaha illallah, wallahu akbar” hingga tiga kali. Mat Piti terisak. Dia kemudian dipeluk oleh imam masjid. Satu per satu jemaah menyalaminya, tapi tidak ada Cak Dlahom di antara mereka.

Mat Piti mendapat Cak Dlahom saat bersiap pulang dari masjid. Cak Dlahom hanya berdiri membisu di depan pintu masuk masjid dengan tatapan yang seperti sengaja menunggu Mat Piti. Cak Dlahom memang menunggu Mat Piti, mengundangnya makan di rumahnya usai salat Magrib. Di rumah Cak Dlahom yang berdekatan dengan kandang kambing milik Pak Lurah.

Cak Dlahom berseri-seri menyambut Mat Piti. Dia sudah menyiapkan kolak yang menutup nasi kebuli dengan lauk kambing goreng dan dua gelas es kelapa muda bergula jawa. Dia mendapat makanan itu dari Pak Lurah yang hari itu mengadakan buka bersama di pendopo kelurahan.

Keduanya makan dengan lahap. Rumah Cak Dlahom yang (biasanya) beraroma tahi kambing terasa penuh sukacita. Mereka menghabiskan waktu, duduk di lincak bambu sambil terus menikmati es kelapa muda.

“Alhamdulillah, Cak. Saya sekarang sudah jadi Islam.” “Yakin, Mat, kamu sudah Islam?”

“Loh sampean ini gimana, Cak? Sampean sendiri yang bilang, saya harus baca syahadat untuk disebut orang Islam!”

“Betul, tapi kamu tahu syahadat itu apa?” “Ya syarat masuk Islam.”

“Syahadat itu menyaksikan, Mat.” “Lah apa lagi ini, Cak?”

“Coba kamu ingat-ingat lagi, kalimat syahadat yang kamu baca tadi… ”

“Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah…………………………….. ”

“Lalu kapan kamu menyaksikan Allah?” “Ya ndak bisalah, Cak.”

“Kenapa ndak bisa, Mat?” “Allahkan tidak terlihat………………………… ”

“Tak siapa? Allah bilang di Al-Quran: ‘Dialah yang awal dan yang akhir, yang tampak dan yang tak tampak, dan Dia yang mengetahui segala sesuatu.’ Jadi Allah itu tampak.”

“Kalau menurut sampean, Cak?”

“Mat, cepat banget kamu menghabiskan es kelapamu.” “Loh apa hubungannya dengan pertanyaan saya, Cak?”

“Buka puasa itu mestinya sedikit-sedikit, Mat. Perlahan-lahan. Jangan kekenyangan. Kalau kekenyangan, kamu akan kepayahan. Tidak bisa bergerak. Malas Tarawih. Berbahaya bagi kesehatanmu.”

“Ya sih. Perut penuh banget ini, Cak, tapi sampean belum jawab pertanyaan saya     ”

“Seperti kamu menghabiskan buka puasa, sebaiknya kalau mau tahu sesuatu urusan agama, juga pelan-pelan. Sedikit-sedikit. Kalau langsung banyak sekaligus akan berbahaya bagi dirimu. Kalau kekenyangan, mungkin masih ndak apa-apa, Mat, tapi kalau kamu terus gila? Kamu akan merasa pintar, merasa lebih tahu dari yang lain.”

“Tunggu, tunggu, Cak… sampean sendiri apa sudah pernah menyaksikan, Cak?”

“Sering, Mat.”

“Menyaksikan? Melihat Allah?” “Aku melihat ciptaan-Nya.”

“Ya Allah, Cak… Cak… kalau cuma begitu saya juga sering, Cak. ”

“Tapi, aku menyaksikan Romlah lebih sering dari kamu sebagai bapaknya.” “Siapa, Cak. ?”

“Romlah. Anakku, Mat.”

Kalimat terakhir diucapkan Cak Dlahom sambil tersenyum penuh arti. Mata Mat Piti melotot sendiri. Dia setengah tidak percaya, Cak Dlahom yang dianggap kurang waras oleh orang-orang kampung ternyata juga memperhatikan Romlah, anaknya yang terkenal cantik.

Dia membatin: Cak Dlahom memang dancuk!. Katanya sinting, tapi masih perhatian pada perempuan, dan perempuan itu adalah Romlah, anak gadis semata wayangnya.

Memperhatikan Mat Piti, Cak Dlahom ngikik. Dia tahu Mat Piti penasaran dan karena itu dia menepuk pundak Mat Piti.

“Kamu misuhi aku ya, Mat? Hahaha… ”

Rangkuman

Cerita ini berkisah tentang Mat Piti, seorang pria biasa yang dikenal dermawan di kampungnya. Ia suka membantu sesama, terutama di bulan Ramadan. Salah satu kebiasaannya adalah membagikan takjil dan mengundang orang untuk berbuka puasa, termasuk Cak Dlahom, seorang lelaki tua yang dianggap kurang waras oleh masyarakat karena tingkah lakunya yang aneh.

Cak Dlahom sering melontarkan pernyataan atau pertanyaan yang tajam dan kritis, yang membuat Mat Piti merenung. Dalam percakapan mereka, terungkap bahwa Mat Piti selama ini menjalankan ibadah seperti puasa dan salat, namun tidak pernah secara sadar mengucap syahadat sebagai bentuk masuk Islam. Cak Dlahom mempertanyakan hal ini dengan cara yang menggelitik tapi penuh makna.

Setelah perenungan panjang dan obrolan yang terasa jenaka tapi dalam, akhirnya Mat Piti memutuskan untuk membaca syahadat di masjid, disaksikan oleh jemaah dan dibimbing oleh imam. Ia secara resmi memeluk Islam.

Namun, di akhir cerita, ada kejutan kecil. Cak Dlahom mengungkapkan bahwa Romlah, anak perempuan Mat Piti yang cantik, ternyata sering ia perhatikan. Ternyata, Cak Dlahom yang dikira “gila”, justru banyak menyimpan pemikiran tajam dan perhatian pada sekitar — bahkan termasuk soal cinta dan keluarga.

RANGKUMAN

Rangkuman Cerita: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya

Penulis: Rusdi Mathari

Cerita ini berkisah tentang Mat Piti, seorang pria biasa di kampung yang dikenal baik, dermawan, dan religius secara sosial. Ia rajin berbagi takjil, membantu tetangga, dan aktif di kegiatan Ramadan. Namun, kehadiran Cak Dlahom, seorang lelaki tua yang dianggap kurang waras oleh warga, menjadi titik balik yang membuka tabir tentang makna keikhlasan dan keimanan yang sejati.

Cak Dlahom sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis dan “nyeleneh” kepada Mat Piti — misalnya:

  • Apakah kamu benar-benar merindukan Ramadan?
  • Benarkah kamu suka puasa dan salat, atau hanya pura-pura?
  • Kapan kamu benar-benar masuk Islam dan bersyahadat dengan sadar?

Obrolan mereka mengungkap bahwa banyak ibadah dilakukan hanya karena kebiasaan sosial, bukan kesadaran spiritual. Cak Dlahom menekankan bahwa syahadat adalah penyaksian yang sadar dan tulus, bukan sekadar formalitas atau rutinitas.

Tersadar oleh pernyataan Cak Dlahom, Mat Piti memutuskan membaca syahadat secara sadar dan disaksikan orang banyak di masjid, seolah “masuk Islam” kembali dengan niat yang murni. Tapi kisah tak berhenti di sana.

Di bagian akhir, Cak Dlahom mengungkapkan bahwa ia sering menyaksikan Romlah, anak gadis Mat Piti. Ungkapan itu memberi kejutan dan kesan humor, sekaligus menyingkap bahwa Cak Dlahom — yang dianggap gila — justru menyimpan kedalaman berpikir, kepekaan, dan bahkan rasa cinta.

Pesan Moral:

  • Ibadah bukan sekadar rutinitas, tapi harus lahir dari kesadaran, kejujuran, dan keikhlasan.
  • Berani jujur bahwa kita belum sempurna adalah awal dari perubahan yang hakiki.
  • Orang yang dianggap gila belum tentu salah — bisa jadi, ia justru

melihat sesuatu yang tak kita lihat.

  • Syahadat bukan hanya diucapkan, tapi harus disaksikan dalam hati dan tindakan.

Penulis: Azizurrahman, Abdul Vikram Makau , dan M. Yusuf Budiarto

Mahasiswa STIQ KEPRI semester II PAI Reguler